Selasa, 14 November 2017

Responding Paper Kelompok 5

Ajaran Budha Dharma Tentang Manusia dan Alam

A. Penciptaan Manusia
Dalam agama Buddha, manusia ada bukan merupakan hasil ciptaan, melainkan akibat dari proses yang terjadi terus-menerus, sehingga akhirnya terbentuklah manusia. Proses keberadaan manusia ini dipengaruhi oleh ajaran mengenai alam semesta. Adanya manusia adalah dari proses cahaya yang nantinya akan lahir kembali dan berubah dari suatu keadaan kepada keadaan lain, sampai adanya manusia. Keberadaan manusia ini sangat dipengaruhi oleh sebab dan akibat.
Proses sebab akibat ini dikenal dengan proses tumimba lahir. Proses tumimba lahir adalah sebab musabab yang saling bergantungan. Proses ini berhubungan dengan bagaimana mengatasi penderitaan hidup yang berulang-ulang, tanpa mempedulikan asal-usul kehidupan yang pertama. Segala sesuatu yang terjadi tergantung pada kejadian yang mendahului atau mengkondisikannya, inilah yang disebut sebab. Manusia akan mengalami kelahiran kembali dan keadaannya akan tergantung pada karmanya (perbuatannya) dikehidupan yang lalu.
Agama Buddha lebih menekankan peranan manusia itu sendiri untuk mendatangkan hal-hal yang baik atas dirinya sendiri maupun kejadian apa yang akan dialaminya (karma). Mengenai nyawa, Buddha mengemukakan ajarana antta, yakni ajaran mengenai tidak adanya nyawa, tidak adanya aku. Dunia yang ditanggapi oleh panca indra ini bagi kita merupakan sejumlah makhluk-makhluk yang hidup dan substansi-substansi yang mati. Sesungguhnya semua itu tidak ada, melainkan hanya dharma, unsur-unsur keadaan atau tenaga-tenaga saja. Semua itu fana, tidak ada satupun yang kekal. Inilah sengsara atau penderitaan kita, bahwa kita ini tidak tahu akan hal itu (awidya). Kita harus belajar mengerti, bahwa tiap-tiap makhluk hidup itu hanya suatu rangkaian kombinasi unsur-unsur yang daripadanya segala sesuatu terdiri, rangkaian dharma-dharma.
Dharma-dharma itu terbagi atas lima golongan yang disebut dengan skanda: Rupa, yaitu badan, yang badani, benda (materi); Vedana berupa perasaan-perasaan; Samnya, berupa angan-angan bayangan -atau tanggapan; Samskara, berupa tenaga penggerak, kemauan atau nafsu-nafsu yang menyebabkan karma; Vinaya, yaitu mengenani kejelasan atau kesadaran.
Kehidupan manusia ini diibaratkan seperti rantai. Ada 12 mata rantai kehidupan manusia: Avijja (kebodohan batin), Sankhara (bentuk-bentuk karma), Patisando Vinarna (kesadaran), nama dan raga (batin dan jasmani) Salayatana (enam landasan India), Phassa (kortex), Vidana (perasaan); Tantra (nafsu keinginan); Upadana (melekat), Bhava (terus menjadi tumbuh), jati (kelahiran); Jasa Marana (tua dan mati).
            Dalam agama Budha menyangkal terhadap adanya roh atau atma yang kekal abadi dalam diri manusia. Manusia dianggap merupakan kumpulan dari lima Kandha tanpa adanya roh atau atma di dalamnya.
Agama Budha tidak menolak sama sekali adanya suatu kepribadian dalam suatu pengertian empiris. Agama Budha hanya bermaksud menunjukkan bahwa roh kekal tidak ada di dalam suatu pengertian mutlak. Istilah filsafat Budhis bagi seorang individu adalah Santana, yaitu arus atau kelangsungan, yang mencakup unsur-unsur rohani dan jasmani”. Kekuatan kamma masing-masing individu merupakan unsur-unsur batin dan jasmani.
            Manusia selalu berada dalam dukkha karena hidup menurut ajaran Budha selalu dalam keadaan dukkha, sebagaimana diajarkan dalam Catur Arya Satyani tentang hakikat dari dukkha. Ada 3 macam dukkha, yaitu:
    Dukkha sebagai derita biasa (dukkha-dukkha)
    Dukkha sebagai akibat dari perubahan-perubahan (viparinamadukkha)
    Dukkha sebagai keadaan yang saling bergantung (sankharadukkha)
            Untuk menghilangkan dukkha manusia harus mengetahui dan memahami sumber dukkha yang disebut dukkhasamudaya, yang ada dalam diri manusia itu sendiri, yaitu berupa tanha (kehausan) yang mengakibatkan kelangsungan dan kelahiran kembali serta keterikatan pada hawa nafsu.
            Nirwana merupakan tujuan akhir dari semua pemeluk Buddha, baik sewaktu masih hidup maupun sesudah mati, yang dapat dicapai oleh setiap orang dengan jalan memahami delapan jalan mulia atau Hasta Arya Marga.

      B. Penciptaan Alam
Terbentuknya alam semesta menurut ajaran Buddha berawal dari cahaya. Namun karena ketamakan diri manusia, membuat alam semesta dan bumi ini terbentuk seperti sekarang ini. Hal ini tidak terjadi begitu saja, melainkan melalui proses yang panjang dan menghabiskan waktu berabad-abad lamanya. Dalam prosesnya, alam semesta hanya terbentang ini tidak terbatas dalam ruang dan waktu. Ada tiga susunan alam semesta, yaitu:
1.  Alam hawa nafsu (kamavacara), alam ini terdiri dari bahan-bahan kasar dan unsur-unsur bumi (api, air dan udara) yang didiami oleh makhluk-makhluk berbadan kasar (jasmani).
2.  Alam bentuk (rupavacara), alam ini didiami oleh dewa-dewa yang masih memiliki badan yang lebih halus, tetapi tidak memiliki hawa nafsu.
3.  Alam yang tidak ada bentuk (arupavacara), pada alam ini didiami oleh dewa-dewa yang tidak berbadan, artinya masuk kea lam ini setelah pengheningan cipta (nibana).
Kisah kejadian alam semesta dan manusia diuraikan oleh Buddha dalam Dighya Nikaya, Agganna Sutta, dan Bahmajala Sutta. Dalam Agganna Sutta diterangkan bahwa sebelum terbentuknya dunia baru yang ditempati manusia, dunia yang lama mengalami kehancuran (kiamat). Setelah melewati satu masa yang lama sekali, maka terbentuklah dunia yang baru. Dan seiring dengan itu, lahir pula makhluk-makhluk yang mati di alam cahaya (ambhasara). Mereka lahir secara spontan sebagai makhluk di bumi yang baru terbentuk itu. Makhluk tersebut hidup dari ciptaan batin (manomaya), memiliki tubuh yang bercahaya dan melayang-layang. Pada saat itu belum ada laki-laki dan perempuan, mereka hanya dikenal sebagai makhluk saja.

Ada tiga tradisi pikiran mengenai asal muasal dunia. Tradisi pikiran pertama menyatakan bahwa dunia ini ada karena alam dan bahwa alam bukanlah suatu kekuatan kepandaian. Bagaimanapun alam bekerja dengan caranya sendiri dan teru berubah.
Tradisi pikiran kedua berkata bahwa dunia diciptakan oleh suatu Tuhan mahakuasa yang bertanggung jawab akan segala sesuatu.
Tradisi pikiran ketiga berkata bahwa awal dunia dan kehidupan ini tidak dapat dibayangkan karena hal itu tidak memiliki awal atau akhir. Ajaran Budha sesuai dengan tradisi ketiga ini. Bertrand Russell mendukung tradisi pikiran ini dengan berkata, “Sama sekali tidak ada alasan untuk menganggap bahwa dunia memiliki suatu permulaan. Gagasan bahwa segala sesuatu harus memiliki permulaan benar-benar karena miskinnya pikiran kita.”
Tentang terjadinya alam ini dikaitkan dengan hukum Pattica-Samuppada. Arti Pattica-Samuppada kurang lebih adalah “muncul bersamaan karena syarat berantai” atau “pokok permulaan sebab akibat yang saling bergantungan”.
Yang dimaksud bergantungan disini adalah unsur-unsur penyusun alam semesta, baik materi maupun mental berinteraksi satu sama lain sedemikian hingga tidak satupun yang berdiri secara terpisah, segala sesuatu sama-sama pentingnya.
Prinsip dari ajaran hukum Patticasamuppada diberikan dalam empat rumus/formula pendek yang artinya berbunyi sebagai berikut:
    Dengan adanya ini, maka terjadilah itu.
    Dengan timbulnya ini, maka timbullah itu.
    Dengan tidak adanya ini, maka tidak adalah itu
    Dengan terhentinya ini, maka terhentilah itu.
Sistem dunia selalu muncul, berubah, hancur dan hilang di dalam semesta dalam siklus yang tak berpenghujung. Ajaran Budha tidak pernah menyatakan bahwa dunia, matahari, bulan, bintang, angin, air, siang dan malam diciptakan oleh suatu Tuhan yang berkuasa atau seorang Budha.
Umat Budha tidak percaya bahwa dunia akan tiba-tiba berakhir dalam suatu kehancuran total sama sekali. Jika sebagian tertentu dari alam menghilang, sebagian yang lain muncul kembali atau berevolusi dari sisa alam semesta sebelumnya.

C. Hubungan Manusia dan Alam               
Sejak awal adanya manusia, sudah terjadi interaksi antara manusia dan hewan. Awal peradaban maju nenek moyang manusia adalah ditandai dengan ditemukannya api. Namun sudah sejak lama, sebelum dimulainya peradaban manusia dalam mengenal api, manusia telah berburu sebuah interaksi dengan hewan. Bahkan peradaban selanjutnya, manusia memanfaatkan hewan untuk diternak demi memenuhi kebutuhan hidup.

Interaksi manusia dengan alam juga telah terjadi sejak dahulu kala. Manusia telah memanfaatkan alam, untuk membuat alat berburu, atau dimulainya era bercocok tanam setelah nenek moyang manusia hidup menetap. Selain itu manusia membutuhkan makanan, air, udara yang bersih yang kesemuanya adalah bagian dari lingkungan tempat manusia hidup.
Hewan dan alam juga saling berinteraksi. Banyak hewan yang hidup dengan sumber makanan dari alam(tumbuhan), dan banyak tumbuhan yang memerlukan bantuan hewan untuk berkembang, seperti contoh serangga membantu penyerbukan bunga, kotoran atau bangkai hewan yang mati menyuburkan tanah, dan sebagainya.
Terlihat dengan jelas bahwa sejak dahulu manusia telah berinteraksi dengan alam dan hewan untuk hidup. Sampai pada akhirnya saat ini interaksi tersebut malah merusak hewan dan alam. Banyak spesies hewan yang telah punah,  pencemaran air, udara, dan tanah, perusakan lingkungan hidup dan hutan. Padahal manusia hidup di alam dan membutuhkan alam untuk hidup, namun karena ketamakan manusia alam menjadi hancur. Bahkan bukan hanya alam, hewan pun tidak terlepas dari jerat keserakahan manusia. Perburuan liar terjadi di mana-mana hanya demi kepuasan materi. Alam yang semakin hancur, telah berdampak negatif terhadap hewan. Banyak hewan mati dan akhirnya punah karena lingkungan hidup mereka dirusak oleh manusia. Lebih menyedihkan lagi, manusia masih belum sadar ataupun tidak segera bertindak walaupun manusia telah mengetahui bahwa kehancuran lingkungan akan menyebabkan kehancuran pada dirinya. Hutan yang semakin sempit, polusi udara yang disebabkan kendaraan bermotor atau industri, membuat udara menjadi terkotori dan semakin sulit dibersihkan, hingga akibatnya terjadi pemanasan global yang pada giliran selanjutnya malah akan merugikan manusia sendiri. Jadi perbuatan manusia terhadap hewan atau alam sebagai lingkungan hidup akan mengakibatkan dampak yang akhirnya akan berbalik menghantam manusia.
Ajaran Buddha memandang bahwa semua fenomena yang terjadi di alam semesta adalah saling mempengaruhi dan berinteraksi. Semua yang terjadi berdasar hukum sebab-akibat yang saling mempengaruhi. Dalam ajaran Buddha hubungan sebab-akibat yang saling berinteraksi dan mempengaruhi ini disebut Paticcasamuppada. Setiap sebab yang terjadi, baik itu dilakukan oleh manusia, hewan atau hukum geologi akan mengakibatkan akibat  yang dampaknya akan dirasakan kembali oleh manusia, hewan, atau alam.

Sang Buddha memahami bahwa penghargaan terhadap hewan dan lingkungan adalah penting. Beliau mengajarkan metta, sebagai wujud aktif dalam menghargai hewan dan karuna, sebagai wujud nyata kepedulian terhadap hewan. Sang buddha selain melarang para Bhikkhu merusak tanaman dengan memetik, juga melarang mengotori lingkungan. Itu artinya bahwa sang Buddha sangat memperhatikan lingkungan hidup dan alam karena beliau tahu bahwa manusia hidup memerlukan alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar