Sejarah Kedatangan dan Pekembangan
Agama Hindu dan Buddha di Indonesia
Makalah ini disusun untuk Memenuhi Tugas Mata kuliah Hindu dan
Buddha di Indonesia
Disusun Oleh:
M. Hafidz Hidayat P. (11150321000029)
Seftia Rahmawati (11150321000035)
Taufik (11150321000063)
JURUSAN STUDI AGAMA - AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017
Kata Pengantar
Assalamu’alaikum wr.wb
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas
rahmat dan karunia-Nya yang telah memberi kita nikmat iman, Islam, dan ihsan
sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya
yang sangat sederhana dan tepat waktu. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan
dapat dipergunakan dengan baik.
Harapan kami semoga
makalah ini membantu menambah pengetahun dan pengalaman bagi para pembaca,
sehingga kami dapat memperbaiki bentuk
maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Kami
menyadari segala kekurangan didalam proses pembuatan tugas ini, oleh karena itu
kami
meminta maaf yang sebesar-besarnya dan kami
mengharapkan segala saran dan kritik yang membangun agar tugas
ini menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Wassalamu’alaikum
wr.wb
Ciputat, 2017
Penyusun
BAB I
Pendahuluan
A.
Latar Belakang
Masalah
Agama Hindu dan Buddha merupakan Agama yang berasal dari negara India,
yang pada perjalanannya menjadi salah satu agama-agama terbesar pengikutnya.
Secara garis besar perkembangan agama Hindu dibedakan menjadi tiga tahap. Tahap
pertama berlangsung sekitar abad 1500-1000 SM yang dikenal dengan agama Weda.
Tahap kedua ditandai dengan munculnya agama Brahman 1000-750 SM, tahap kedua
adalah zaman agama Buddha yang berlangsung sekitar 500 SM-300 M. yang mempunyai
corak berbeda dengan agama Weda. Tahap
ketiga ditandai dengan munculnya pemikiran-pemikiran kefilsafatan yang berpusat
di sekitar sungai Gangga (750-300 M), dan tahap yang ketiga adalah apa yang
dikenal dengan agama Hindu yang berlangsung sejak 300 M. sampai sekarang.[1]
Agama Hindu berkembang hingga ke luar India termasuk Indonesia, yang dibawa
oleh para Rsi atau para Brahman.
Agama Buddha sendiri bisa dikatakan sebagai pembaharu dari agama
Hindu yang dibawa oleh Sidharta Gautama. Yang pada perjalannya sang Buddha
sendiri melakukan pengembaraan untuk mencari penerahan yang abadi. Berbeda
halnya dengan agama hindu, agama Buddha lebih banyak berkembang di Cina di
bandingkan dengan asal mulanya agama tersebut yaitu India.
Sedangkan Agama Hindu dan Buddha masuk di Indonesia sekitar abad ke
7 M, yang dibawa oleh para Rsi maupun para Bikhhu. Harun Hadiwijono mengatakan
bahwa kira-kira abad ke 15 SM. nenek moyang bangsa Indonesia memasuki Indoneisa
dari daratan Cina Selatan, dengan melewati dua jalur, yaitu jalur utara dan
barat. Jalur utara melewati Jepang, Taiwan, Pilipin, dan menyebrang di
Sulawesi, Indonesia bagian Timur, Irian dan Melanesia, sedangakan jalur barat
melewati Indo Cina, Siam, Malaya, serta menyebar di Sumatra, Jawa dan
Kalimantan.[2]
B.
Rumusan Masalah
a.
Teori
Kedatangan Hindu dan Buddha di Indonesia
b.
Peta Penyebaran
dan Persebaran Hindu dan Buddha di Indonesia
c.
Perkembangan
aliran-aliran Hindu dan Buddha di Indonesia
d.
Masa Kerajaan
Hindu dan Buddha di Indonesia
e.
Peninggalan
Sejarah Bercorak Hindu dan Buddha di Indonesia
f.
Persamaan dan
Perbedaan Hindu dan Buddha di India
C.
Tujuan
Penulisan
a.
Untuk
mengetahui Teori Kedatangan Hindu dan Buddha di Indonesia
b.
Untuk
mengetahui Peta Penyebaran dan Persebaran Hindu dan Buddha di Indonesia
c.
Untuk
mengetahui Perkembangan aliran-aliran Hindu dan Buddha di Indonesia
d.
Untuk
mengetahui Masa Kerajaan Hindu dan Buddha di Indonesia
e.
Untuk
mengetahui Peninggalan Sejarah Bercorak Hindu dan Buddha di Indonesia
f.
Untuk
mengetahui Persamaan dan Perbedaan Hindu dan Buddha di India
g.
Untuk
menyelesaikan tugas Mata Kuliah Hindu dan Buddha di Indonesia
D.
Manfaat
Penulisan
Makalah ini diharapkan memiliki manfaat memberi pengetahuan dan
wawasan kepada para pembaca dan penulis tentang Sejarah Kedatangan dan
Pekembangan Agama Hindu dan Buddha di Indonesia.
BAB II
Pembahasan
A.
Teori Kedatangan Hindu dan Buddha di Indonesia
Agama Hindu-Buddha berasal dari India, yang kemudian menyebar ke
Asia Timur dan Asia Tenggara termasuk Indonesia. Indonesia sebagai negara
kepulauan letaknya sangat strategis, yaitu terletak diantara dua benua (Asia
dan Australia) dan dua samudra (Indonesia dan Pasifik) yang merupakan daerah
persimpangan lalu lintas perdagangan dunia.
Awal abad Masehi, jalur perdagangan tidak lagi melewati jalur darat
(jalur sutera) tetapi beralih kejalur laut, sehingga secara tidak langsung perdagangan
antara Cina dan India melewati selat Malaka. Untuk itu Indonesia ikut berperan
aktif dalam perdagangan tersebut. Akibat hubungan dagang tersebut, maka
terjadilah kontak/hubungan antara Indonesia dengan India, dan Indonesia dengan
Cina. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab masuknya budaya India ataupun
budaya Cina ke Indonesia. Mengenai siapa yang membawa atau menyebarkan agama
Hindu-Budha ke Indonesia, tidak dapat diketahui secara pasti.[3]
Walaupun demikian para ahli memberikan pendapat tentang proses masuknya agama
Hindu-Budha atau kebudayaan India ke Indonesia.
Keterlibatan bangsa Indonesia dalam kegiatan perdagangan dan
pelayaran internasional tersebut menyebabkan timbulnya percampuran budaya.
Misalnya saja India, negara pertama yang memberikan pengaruh kepada Indonesia,
yaitu dalam bentuk budaya Hindu. Para sejarawan mengatakan bahwa banyak
pendapat atau teori masuknya agama hindu di Indonesia, antara lain:
1.
Teori Brahman
Teori
ini di kemukakan oleh J.C. Van Leur, berpendapat bahwa agama Hindu masuk ke
Indonesia dibawa oleh kaum Brahman. Hanya kaum Brahmanalah yang berhak
mempelajari serta mengajarkan agama Hindu karena hanya kaum Brahmanlah yang
mengerti isi kitab suci Weda. Kedatangan Kaum Brahmana tersebut diduga karena
undangan Penguasa/Kepala Suku di Indonesia atau sengaja datang untuk
menyebarkan agama Hindu ke Indonesia. Beliau
juga mengatakan bahwa kaum Brahman sangat berperan dalam penyebaran
agama dan kebudayaan agama Hindu ke Indonesia.
2.
Teori Ksatria
Terdapat
dua pendapat mengenai teori Ksatria yang pertama menurut Prof.Dr.Ir.J.L.Moens
berpendapat bahwa yang membawa agama Hindu ke Indonesia adalah kaum ksatria
atau golongan prajurit, karena adanya kekacauan politik/peperangan di India abad
4 - 5 M, maka prajurit yang kalah perang terdesak dan menyingkir ke Indonesia,
bahkan diduga mendirikan kerajaan di Indonesia.[4]
Yang dikemukakan oleh F.D.K. Bosch, menyatakan bahwa adanya raja-raja dari
India yang datang menaklukan daerah-daerah tertentu di Indonesia yang telah
mengakibatkan penghinduan penduduk setempat.
3.
Teori Waisya
Yang
dikemukakan oleh N.J. Krom, mengatakan bahwa pengararuh Hindu masuk ke
Indonesia melalui golongan pedagang dari kasta waisya yang menetap di Indonesia
dan kemudian memegang peranan penting dalam proses penyebaran kebudayaan India
termasuk agama Hindu.
4.
Teori Sudra
Von
van Faber, menyatakan bahwa agama Hindu masuk ke Indonesia dibawah oleh kasta
sudra. Tujuan mereka adalah mengubah kehidupan karena di India mereka hanya
hidup sebagai pekerja kasar dan budak. Dengan jumlah yang besar, diduga
golongan sudralah yang memberi andil dalam penyebaran agama dan kebudayaan
Hindu ke Nusantara.
5.
Teori Campuran
Teori
ini beranggapan bahwa baik kaum brahmana, ksatria, para pedagang, maupun
golongan sudra bersama-sama menyebarkan agama Hindu ke Indonesia sesuai dengan
peran masing-masing.
6.
Teori Arus
Balik
Teori arus balik ini tidak hanya berlaku untuk proses masuknya
agama Hindu ke Indonesia saja melainkan untuk agama Buddha juga. Para ahli
mengatakan bahwa banyak pemuda di Indonesia yang belajar agama Hindu dan Buddha
ke India. Di perantauan mereka mendirikan organisasi yang disebut Sanggha.
Setelah memperoleh ilmu yang banyak, mereka kembali untuk menyebarkannya.
Sedangkan menurut pendapat FD. K. Bosh, teori arus balik ini
menekankan peranan bangsa Indonesia dalam proses penyebaran kebudayaan Hindu
dan Budha di Indonesia. Menurutnya penyebaran budaya India di Indonesia
dilakukan oleh para cendikiawan atau golongan terdidik. Golongan ini dalam
penyebaran budayanya melakukan proses penyebaran yang terjadi dalam dua tahap
yaitu sebagai berikut: Pertama, proses penyebaran di lakukan oleh golongan
pendeta Buddha atau para biksu, yang menyebarkan agama Budha ke Asia termasuk
Indonesia melalui jalur dagang, sehingga di Indonesia terbentuk masyarakat
Sangha, dan selanjutnya orang-orang Indonesia yang sudah menjadi biksu,
berusaha belajar agama Budha di India. Sekembalinya dari India mereka membawa
kitab suci, bahasa sansekerta, kemampuan menulis serta kesan-kesan mengenai
kebudayaan India.
Dengan demikian peran aktif penyebaran budaya India, tidak hanya
orang India tetapi juga orang-orang Indonesia yaitu para biksu Indonesia
tersebut. Hal ini dibuktikan melalui karya seni Indonesia yang sudah mendapat
pengaruh India masih menunjukan ciri-ciri Indonesia. Kedua, proses penyebaran kedua dilakukan oleh
golongan Brahmana terutama aliran Saiva-siddharta. Menurut aliran ini seseorang
yang dicalonkan untuk menduduki golongan Brahmana harus mempelajari kitab agama
Hindu bertahun-tahun sampai dapat ditasbihkan menjadi Brahmana. Setelah
ditasbihkan, ia dianggap telah disucikan oleh Siva dan dapat melakukan upacara
Vratyastome/penyucian diri untuk menghindukan seseorang.
Pada dasarnya teori Brahmana, Ksatria dan Waisya memiliki kelemahan
yaitu, golongan Ksatria dan Waisya tidak menguasai bahasa Sansekerta. Sedangkan
bahasa Sansekerta adalah bahasa sastra tertinggi yang dipakai dalam kitab suci
Weda. Dan golongan Brahmana walaupun
menguasai bahasa Sansekerta tetapi menurut kepercayaan Hindu kolot tidak boleh
menyebrangi laut.
Jadi hubungan dagang telah menyebabkan terjadinya proses masuknya
penganut Hindu-Budha ke Indonesia. Beberapa teori di atas menunjukan bahwa
masuknya pengaruh Hindu-Budha merupakan satu proses tersendiri yang terpisah
namun tetap di dukung oleh proses perdagangan.
Pada umumnya para ahli cenderung kepada pendapat yang menyatakan
bahwa masuknya budaya Hindu ke Indonesia itu dibawa dan disebarluaskan oleh
orang-orang Indonesia sendiri. Bukti tertua pengaruh budaya India di Indonesia
adalah penemuan arca perunggu Buddha di daerah Sempaga (Sulawesi Selatan).
Dilihat dari bentuknya, arca ini mempunyai langgam yang sama dengan arca yang
dibuat di Amarawati (India). Para ahli memperkirakan arca Buddha tersebut
merupakan barang dagangan atau barang persembahan untuk bangunan suci agama
Buddha. Selain itu, banyak pula ditemukan prasasti tertua dalam bahasa
Sanskerta dan Malayu kuno. Berita yang disampaikan prasasti-prasasti itu
memberi petunjuk bahwa budaya Hindu menyebar di Kerajaan Sriwijaya pada abad
ke-7 Masehi.[5]
Didalam buku Harun Hadiwijono sejarah agama Hindu dan Buddha di
Indonesia dibagi menjadi 3 bagian, yaitu:[6]
1.
Mulai abad ke-5
hingga abad ke-7, yang bahannya sebagian besar diambil dari berita-berita luar
negeri
2.
Mulai abad ke-8
hingga abad ke-1, yaitu keadaan di Jawa Tengah
3.
Mulai abad ke-1
hingga jatuhnya kerajaan Majapahit
B.
Peta Penyebaran
dan Persebaran Hindu dan Buddha di Indonesia
Peta
jalur perdagangan laut Asia Tenggara
Gambar 1.1 jalur perdagangan laut Asia Tenggara
Penyebaran
dan Persebaran Buddha di Indonesia
Gambar 1.2 persebaran agama Buddha
Penyebaran
dan Persebaran Hindu di Indonesia
Gambar 1.3 persebaran agama Hindu
C.
Perkembangan aliran-aliran Hindu dan Buddha di
Indonesia
Perpecahan pokok yang tedapat didalam agama buddha adalah Hinayana
dan Mahayana. Didalam mazhab Hinayana ada dua aliran pokok, yaitu Theravada
yang sekaang bekembang di Langka, Bima, dan Siam (Muangthai) dan sarwastiwada
yang pesat di Mathura, Gandhara, dan Kasmir.[7]
Mahayana pecah menjadi banyak aliran. Tiap aliran menekankan salah
satu dari banyak jalan untuk mendapatkan kelepasan. Pada kira-kira tahun 150
didirikan aliran Madhyamika oleh Nagarjuna, yang mengajarkan bahwa
kelepasan dapat dicapai dengan melaksanakan hikmat, dalam arti merenungkan sunyata
(kekosongan). Pada kira-kira tahun 400 aliran Yogacara didiikan oleh
Asanga, yang dipengaruhi oleh falsafah Samkhya. Sesudah tahun 500 agama Buddha
dipengaruhi oleh Tantra. Cabang aliran ini bekembang di Nepal, Tibet, Jepang,
Jawa, dan Sumatra.[8]
Pada akhir abad ke-7, I-Tsing
menceritakan didalam bukunya yang ditulisnya di Sumatra, bahwa pada tahun
664/665 ada seseorang musafir Cina benama Hwui-ning, yang pegi ke Jawa
selama 8 tahun. Di bawah pimpinan seorang Guru, jnanabhadra, ia
menerjemahkan suatu naskah tentang masuknya Buddha ke Nirwana serta pembakaran
pada tubuhnya, ke dalam bahasa Cina. Ia menceitakan bahwa naskah yang
diterjemahkan itu menyimpang dari naskah yang biasa dipakai didalam Mahayana.
Dari aliran tersebut dapat diambil kesimpulan, bahwa agama Buddha yang dianut
pada waktu itu Hinayana. Berita-berita yang lain ini memang menunjuk pada
kesimpulan yang demikian itu.[9]
Dari berita I-tsing itu selanjutnya kita dapat
mengambil kesimpulan bahwa pada waktu itu Sriwijaya menjadi pusat agama Buddha.
Disana terdapat sebuah perguruan tinggi Buddha yang tidak kalah dengan perguruan
yang ada di Nalanda India. Ada lebih dari 1000 biksu yang ajaran serta tata
upacaranya sama dengan yang ada di India. Kecuali pengikut Hinayana, di
Sriwijaya juga terdapat pengikut Mahayana. Bahkan ada guru Mahayana yang
mengajar disitu. Dari berita ini jelas bahwa Sriwijaya adalah pusat agama
Buddha Mahayana, yang terbuka bagi gagasan baru dan yang juga senang mengadakan
pekerjaan ilmiah. Oleh karena itu musafir China yang ingin belajar di India
pasti singgah di Sriwijaya untuk mengadakan persiapan. Hal itu juga dilakukan
oleh I-tsing sendiri.[10]
Agaknya kemudian Mahayanalah yang berkembang dan berpengaruh besar.
Hal ini terbukti dari beberapa prasasti yang didapat disekitar Palembang yang
menyebutkan bahwa daputa hyang berusaha mencari berkat dan kekuatan gaib guna
meneguhkan kerajaan Sriwijaya, agar segala mahluk dapat menikmatinya. Dari
ungkapan yang digunakan, dapat diambil kesimpulan bahwa upacara ini adalah
upacara indonesia kuno yang sesuai dengan ajaran Mahayana. Dari berita-berita
yang lain jelaslah bahwa Mahayanalah yang berkuasa pada masa itu. Bahkan bukan
cuma itu saja, mungkin pengaruh tantra, yang di India mempengaruhi agama Buddha
sejak pertengahan abad ketujuh, juga terdapat di Sriwijaya. Hal ini didapat
dari uraian bahwa salah satu tingkat untuk mendapatkan hikmah tertinggi adalah
wajrasarira, tubuh baja (intan) yang mengingatkan kepada ajaran wajrayana.
D.
Masa Kerajaan
Hindu dan Buddha di Indonesia
1.
Zaman Sriwijaya
Sriwijaya bukan saja termashur karena kekuatan angkatan perangnya,
melainkan juga karena merupakan pusat ilmnu dan kebudayaan Buddha. Di sana
terdapat banyak vihara dan dihuni oleh ribuan bhikkhu. Pada Perguruan Tinggi
Agama Buddha di Sriwijaya orang dapat mengikuti selain kuliah-kuliah tentang
agama Buddha juga kuliah-kuliah tentang bahasa Sansekerta dan bahasa Jawa Kuno
(Kawi). Pujangga-pujangga agama Buddha terkenal seperti Dharmapala dan
Sakyakirti pernah mengajar di Perguruan Tinggi tersebut. Pada waktu itu
Sriwijaya merupakan mercusuar agama Buddha di Asia Tenggara dan memancarkan
cahaya budaya manusia yang cemerlang.
Tentang agama Buddha di Sriwijaya juga banyak diberitakan oleh
sarjana agama Buddha dari Tiongkok yang bernama I-tsing. Dalam tahun 672 ia
bertolak untuk berziarah ke tempat-tempat suci agama Buddha di India. Saat pulang
Tahun 685 ia singgah di Sriwijaya dan tinggal di sana sampai 10 tahun lamanya
untuk mempelajari dan menyalin buku-buku suci agama Buddha dalam bahasa
Sansekerta ke dalam bahasa Cina. Sriwijaya yang berada di pulau Sumatera
didirikan pada ± abad ke-7 dan dapat bertahan terus hingga tahun 1377.
2.
Zaman Sailendra
di Mataram
Pada ± tahun 775 sampai dengan ± tahun 850 di daerah Bagelan dan
Yogyakarta berkuasalah raja-raja dari wangsa Sailendra yang memeluk agama
Buddha.[11]
Zaman ini ialah zaman keemasan bagi Mataram dan negara di bawah pemerintahannya
aman dan makmur.
Ilmu pengetahuan, terutama ilmu pengetahuan tentang agama Buddha
sangat maju, dan kesenian – terutama seni pahat mencapai taraf yang sangat
tinggi. Pada waktu itu seniman-seniman bangsa Indonesia telah menghasilkan
karya seni yang mengagumkan, misalnya candi Borobudur, Pawon, Mendut, Kalasan
dan Sewu. kecuali candi-candi tersebut masih banyak lagi candi-candi yang
didirikan atas perintah raja-raja Sailendra, tetapi yang paling besar dan
paling indah adalah candi Borobudur. Setelah raja Samarottungga meninggal
dunia, Mataram kembali diperintah oleh raja-raja dari wangsa Sanjaya yang
beragama Hindu, namun agama Buddha dan agama Hindu dapat berkembang terus
berdampingan dengan rukun dan damai.
Dikerajaan sailendra agama yang dipeluk oleh raja dan rakyatnya
adalah agama Buddha Mahayana, sekalipun agaknya secara intensif agama ini hanya
dipelihara oleh kalangan atas, yaitu kalangan istana dan para pujangga yang
mempunyai hubungan erat dengan istana.[12]
Di samping prasasti-prasasti ada candi-candi yang menjadi saksi
kuat mengenai agama Buddha Mahayana. Candi-candi itu memberikan penjelasan
lebih banyak, meskipun sangat terbatas. Yang kini dibicarakan di sini adalah
Candi Borobudur. Candi ini didirikan oleh Dinasti Sailendra pada kira-kira
tahun 800. Sayangnya, tidak ada sedikit pun naskah yang dapat memberi
keterangan mengenai cara-cara pendirian candi yang besar itu. Candi ini
dimaksudkan untuk menguraikan ajaran agama Buddha Mahayana dalam bentuk
pahatan.[13]
3.
Zaman Empu
Sindok hingga Erlangga
Agama yang berkembang pada zaman ini tampaknya adalah agama Siwa,
sekalipun agama Buddha juga berkembang berdampingan. Hal ini jelas dan
prasasti-prasasti yang menyebut Sindok dengan gelar Sri Isana (sebutan Siwa),
sedang putrinya menikah dengan Lokapala, yang disebut Sugatapaksa (sebutan
Buddhis). Agaknya pada zaman ini agama Siwa dan Buddha juga hidup berdampingan,
bahkan saling mempengaruhi, serta tumbuh saling mendekati. Juga dapat
ditentukan, bahwa pengaruh Tantra bagi kedua agama itu makin kuat.
Di Jawa Timur sumber bagi pengetahuan kita akan kedua agama ini
jauh lebih banyak danipada sumber di Jawa Tengah. Banyak sekali prasasti,
bangunan (candi), kepustakaan, dan berita dari luar negeri.
Dari kepustakaan keagamaan yang ada, kami dapat menyimpulkan
demikian: Kepustakaan yang terkuno disusun sedemikian rupa, sehingga terdiri
dari ayat-ayat dalam bahasa Sanskerta, yang diikuti oleh keterangan bebas di
dalam bahasa Jawa kuno. Hal ini menunjukkan bahwa ayat-ayat itu berasal dan
India. Jadi, di dalam karyanya orang masih terikat pada India. Buku-buku
keagamaan yang di susun seperti itu misalnya: Bhuwanakosa, Bhuwanasangksepa,
Wrhaspatitattwa, dan sebagainya. Dan agama Buddha Mahayana buku-buku
seperti itu adalah Sanghyang Kamahayanan Mantranaya dan Sanghyang
Kamadhayanikan.
Perkembangan seterusnya adalah demikian: Orang mulai menghasilkan
kepustakaan yang seluruhnya ditulis dalam bahasa Jawa kuno, dengan diselingi
bait-bait dalam bahasa Sanskerta. Hal ini menunjukkan, bahwa hubungan dengan
kepustakaan Hindu asli (India) sudah lebih bebas.
Akhirnya dihasilkan kepustakaan yang hanya terdiri dari bahasa Jawa
kuno. Hanya kadang-kadang masih terselip ungkapan-ungkapan dalam bahasa
Sanskerta yang diberi keterangan. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan dengan
India sudah tak ada lagi. Dapat dikatakan, bahwa kepustakaan macam ini adalah
hasil karya orang Jawa sendiri.
Ajaran agama Siwa yang dapat disimpulkan dari kepustakaan tersebut
di atas adalah sebagai berikut: Siwa dipandang sebagai dewa yang tertinggi. Ia
diidentikkan dengan Zat yang Mutlak, yang transenden, yang tak dapat ditembus
oleh akal manusia, sehîngga tak dapat diuraikan dan tak dapat di gambarkan
seperti apa. Zat yang Mutlak ini adalah tanpa rupa, tanpa warna, tanpa rasa, tanpa
sabda, tanpa penjamahan, dan sebagainya.[14]
4.
Zaman Majapahit
Di bawah raja-raja Majapahit (tahun 1292 s/d tahun 1478) yang
menganut agama Hindu, agama Buddha pun dapat berkembang dengan baik. Toleransi dalam
bidang keagamaan dijaga baik-baik, sehingga pertentangan agama tak pernah
terjadi. Agaknya ada 3 aliran yang hidup berdampingan secara rukun, yaitu agama
Siwa, Wisnu, dan Buddha Mahayana.[15]
Di waktu pemerintahan Raja Hayam Wuruk, seorang pujangga terkenal, Mpu
Tantular, telah menulis buku yang berjudul “Sutasoma”, dimana terdapat kalimat
Ciwa Buddha Bhinneka Tunggal Ika Tanhang Dharma Mandrawa. Dari kata-kata inilah
kemudian diambil semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” yang kini dijadikan lambang
negara Republik Indonesia yang melambangkan motto toleransi dan persatuan.
Setelah Majapahit runtuh pada tahun 1478, maka berangsur-angsur agama Buddha
dan Hindu digeser kedudukannya oleh agama Islam.
E.
Peninggalan Sejarah Bercorak Hindu dan Buddha
di Indonesia
Peninggalan sejarah Kerajaan Kutai sebagai kerajaan Hindu di
antaranya sebagai berikut.
a.
Tujuh buah yupa
yang ditemukan di daerah sekitar Muara Kaman pada tahun 1879 dan 1940.
b.
Arca-arca
bulus.
c.
Arca-arca
Buddha dari perunggu.
d.
Arca batu.
Peninggalan Tarumanegara yang dimaksud antara lain sebagai berikut.
a.
Prasasti
Ciaruteun. Ditemukan di Ciampea, Bogor, Jawa Barat. Pada prasasti ini terdapat
telapak kaki Raja Purnawarman dan lukisan laba-laba. Raja Purnawarman dianggap
sebagai perwujudan Dewa Wisnu.
b.
Prasasti Jambu.
Ditemukan di Bukit Koleangkak, 30 km sebelah barat daya Kota Bogor. Pada
prasasti ini tertulis kata tarumayam (Tarumanegara).
c.
Prasasti Lebak
(Cidanghiang). Ditemukan di Kampung Lebak, Pandeglang, Banten. Prasasti ini
menyebutkan bahwa Raja Purnawarman adalah raja yang agung, pemberani, dan
perwira.
d.
Prasasti Kebon
Kopi. Ditemukan di Kampung Muara Hilir, Bogor. Pada prasasti ini terdapat
lukisan telapak kaki Airawata (gajah kendaraan Dewa Wisnu).
e.
Prasasti Tugu.
Ditemukan di Desa Tugu, Cilincing, Jakarta Utara. Prasasti ini memiliki tulisan
terpanjang. Prasasti ini menceritakan pembuatan saluran air (Gomati dan
Chandrabhaga) oleh Raja Purnawarman.
f.
Prasasti Pasir
Awi. Ditemukan di Pasir Awi, Bogor, Jawa Barat. Prasasti ini terdapat lukisan
tapak kaki. Prasasti ini belum bisa dibaca karena dalam huruf ikal.
g.
Prasasti Muara
Cianten. Ditemukan di Muara Cianten, Bogor, Jawa Barat.
Peninggalan sejarah Kerajaan Mataram sangat banyak. Di antaranya
berupa Candi Gedong Songo, kompleks Dieng, dan komplek Candi Prambanan.
Peninggalan berupa prasasti di antaranya sebagai berikut. Prasasti
Penumbangan (1120), Prasasti Hantang (1135), Prasasti Talan (1136), Prasasti
Jepun (1144), Prasasti Weleri (1169), dan lain sebagainya. Peninggalan dalam
bidang kesusastraan di antaranya sebagai berikut. Kakawin Arjuna Wiwaha oleh
Mpu Kanwa, Kresnayana oleh Mpu Triguna, Samanasantaka oleh Mpu Managuna,
Smaradahana oleh Mpu Darmaja, Hariwangsa oleh Mpu Panuluh, Gathotkaca Sraya
oleh Mpu Panuluh.
Peninggalan kerajaan Sriwijaya ditunjukkan oleh prasasti-prasasti
yang ditulis huruf Pallawa dan bahasa Melayu Kuno berikut ini:
1.
Prasasti Kedukan Bukit (683 M) di Palembang.
2.
Prasasti Talang Tuo (684 M) di Palembang.
3.
Prasasti Telaga Batu (tanpa tahun) di Palembang.
4. Prasasti
Kota Kapur ( 686 M) di Pulau Bangka.
5.
Prasasti Karang Berahi (686 M) di Jambi.
6.
Prasasti Palas Pasemah (abad ke-7 M) di Lampung Selatan.
F.
Persamaan dan
perbedaan Agama Hindu-Buddha di India dan Indonesia
Dilihat dari sisi luar, perbedaan antara Hindu Indonesia dengan
Hindu India sangat kentara. Baik dari makanan yang dimakan, Pakaian sembahyang,
Hari Suci yang dirayakan maupun hal-hal lain yang bisa dilihat dengan kasat
mata. Sebagai contoh, orang-orang india dimana Veda diwahyukan, mereka mayoritas
vegetarian, sementara orang Hindu Indonesia (Bali,Jawa) mayoritas non
vegetarian. Umat hindu Bali dan Jawa sembahyang tiga kali yang disebut dengan
Tri Sandhya, sedangkan umat hindu dari India biasanya sembahyang dua kali pagi
dan sore.
Persamaan
Agama Hindu-Buddha di India dan Indonesia
Salah satu contoh kesamaan ajaran yang bisa dijumpai di berbagai
daerah di Indonesia maupun di India adalah Lima Keyakinan yang dikenal dengan
nama Panca Sradda yaitu:
1.
Percaya dengan adanya Tuhan,
2.
Percaya dengan adanya Atman,
3.
Percaya dengan adanya Hukum Karma Phala,
4.
Percaya dengan adanya Reinkarnasi/Punarbawa/Samsara,
5.
Percaya dengan adanya Moksa.
Di Bali ada lagi lontar-lontar yang ditulis oleh para Mpu yang
telah mencapai tingkatan spiritual yang tinggi seperti: lontar sundari gama,
lontar buana kosa, lontar sangkul putih, dan lain-lain.
Perbedaan
Agama Hindu-Buddha di India dan Indonesia
1.
Untuk itu agama
Hindu dan Budha yang berkembang di Indonesia, berbeda dengan agama Hindu -
Budha yang dianut oleh masyarakat India. Perbedaaan-perbedaan tersebut misalnya
dapat Anda lihat dalam upacara ritual yang diadakan oleh umat Hindu atau Budha
yang ada di Indonesia. Contohnya, upacara Nyepi yang dilaksanakan oleh umat
Hindu Bali, upacara tersebut tidak dilaksanakan oleh umat Hindu di India.[16]
2.
Sistem kasta
menurut kepercayaan Hindu terdiri dari kasta Brahmana (golongan Pendeta), kasta
Ksatria (golongan Prajurit, Bangsawan), kasta Waisya (golongan pedagang) dan
kasta Sudra (golongan rakyat jelata). Kasta-kasta tersebut juga berlaku atau
dipercayai oleh umat Hindu Indonesia tetapi tidak sama persis dengan
kasta-kasta yang ada di India karena kasta India benar-benar diterapkan dalam
seluruh aspek kehidupan, sedangkan di Indonesia tidak demikian, karena di
Indonesia kasta hanya diterapkan untuk upacara keagamaan.[17]
3.
Seni bangunan
Candi tersebut memang mengandung unsur budaya India tetapi keberadaan
candi-candi di Indonesia tidak sama dengan candi-candi yang ada di India,
karena Indonesia hanya mengambil unsur teknologi perbuatannya melalui
dasar-dasar teoritis yang tercantum dalam kitab Silpasastra yaitu sebuah kitab
pegangan yang memuat berbagai petunjuk untuk melaksanakan pembuatan arca dan
bangunan. Untuk itu dilihat dari bentuk dasar maupun fungsi candi tersebut
terdapat perbedaan dimana bentuk dasar bangunan candi di Indonesia adalah
punden berundak-undak, yang merupakan salah satu peninggalan kebudayaan
Megalithikum yang berfungsi sebagai tempat pemujaan. Sedangkan fungsi bangunan
candi itu sendiri di Indonesia sesuai dengan asal kata candi tersebut.
Perkataan candi berasal dari kata Candika yang merupakan salah satu nama dewi
Durga atau dewi maut, sehingga candi merupakan bangunan untuk memuliakan orang
yang telah wafat khususnya raja-raja dan orang-orang terkemuka.[18]
Dengan demikian fungsi candi Hindu
di Indonesia adalah untuk pemujaan terhadap roh nenek moyang atau dihubungkan
dengan raja yang sudah meninggal. Hal ini terlihat dari adanya lambang
jasmaniah raja sedangkan fungsi candi di India adalah untuk tempat pemujaan
terhadap dewa, contohnya seperti candi-candi yang terdapat di kota Benares
merupakan tempat pemujaan terhadap dewa Syiwa.
Untuk candi Budha di India hanya
berbentuk stupa, sedangkan di Indonesia stupa merupakan ciri khas atap
candi-candi yang bersifat agama Budha. Dengan demikian seni bangunan candi di
Indonesia memiliki kekhasan tersendiri karena Indonesia hanya mengambil intinya
saja dari unsur budaya India sebagai dasar ciptaannya dan hasilnya tetap
sesuatu yang bercorak Indonesia.
BAB III
Pentp
A.
Kesimplan
Pendapat
mengenai proses masuk dan berkembangnya kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia,
yaitu Waisya, Ksatria, Brahmana, sudra, campuran dan teori Arus Balik. Masuk
dan berkembangnya agama dan kebudayaan Hindu-Budha membawa pengaruh besar di
berbagai bidang. Kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu-Budha merupakan
salah satu bukti adanya pengaruh kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia. Setiap
kerajaan dipimpin oleh seorang raja yang memiliki kekuasaan mutlak dan
turun-temurun. Kerajaan-kerajaan itu antara lain : Kerajaan
Kutai, Kerajaan Tarumanegara, Kerajaan Sriwijaya, Mataram
Kuno, Kerajaan Singhasari, Kerajaan Majapahit. Masuknya kebudayaan
India ke Indonesia telah membawa pengaruh terhadap perkembangan kebudayaaan di
Indonesia.
B.
Saran
Dalam penyusunan makalah ini maupun dalam penyajiannya kami selaku
manusia biasa menyadari adanya beberapa kesalahan. Oleh karena itu kami
mengharapkan kritik maupun saran bagi kami yang bersifat membantu agar kami
tidak melakukan kesalahan yang sama dalam penyusunan makalah yang selanjutnya
dan semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua.
Dafta
Pstaka
Ali, Mukti. Agama-Agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga
Press. 1988
Hadiwijono,
Harun. Agama Hindu dan Buddha. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia. 1987
Hartini, Dwi. Pertumbuhan Dan Perkembangan Agama Serta Kebudayaan
Hindu-Budha Di Indonesia. Modul Sejarah
Wijaya,
Mukti Krishnanda. Wacana Buddha Dharma. Jakarta: Sangha Agung Indonesia. 2006
[1] Mukti Ali,
Agama-Agama di Dunia (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), h. 94.
[2] Harun
Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 1987), h. 83
[3] Harun
Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 1987), h. 107
[4]
Pertumbuhan Dan
Perkembangan Agama Serta Kebudayaan Hindu-Budha Di Indonesia, Dwi Hartini,
Modul Sejarah. h.6
[5] Mukti
Krishnanda wijaya, Wacana Buddha Dharma. Jakarta: Sangha Agung Indonesia. 2006
[6] Harun
Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 1987), h. 108
[7] Harun Hadiwijono,
Agama Hindu dan Buddha (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 1987), h. 89
[8] Harun
Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 1987), h. 89
[9] Harun
Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 1987), h. 110
[16] Pertumbuhan
Dan Perkembangan Agama Serta Kebudayaan Hindu-Budha Di Indonesia, Dwi Hartini,
Modul Sejarah. h.9
[17] Pertumbuhan
Dan Perkembangan Agama Serta Kebudayaan Hindu-Budha Di Indonesia, Dwi Hartini,
Modul Sejarah. h.10
[18] Pertumbuhan
Dan Perkembangan Agama Serta Kebudayaan Hindu-Budha Di Indonesia, Dwi Hartini,
Modul Sejarah. h.11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar