Upacara kelahiran, Perkawinan dan kematian dalam agama Hindu
A.
Upacara kelahiran
·
Upacara bayi dalam kandungan
Dalam agama hindu,ritual atau
upacara yang dilakukan ketika bayi masih dalam kandungan disebut
Magedog-gendongan.Upacara ini dilakukuan setelah kandungan berusia di bawah
lima bulan.Upacara ini bertujuan untuk membersihkan dan memohon keselamatan
jiwa si bayi agar kelak menjadi orang yang berguna untuk dalam masyarakat
nanti.
a. Tata cara
upacara magedog-gendongan:
Dilakukan di dalam pemandian di
dalam rumah,ibu yang sedang mengandung disucikan,di tempat suci itu disertakan
pula alat upacara berupa benang hitam satu ikat yang kedua ujungnya diikatkan
pada cabang kayu dadap,bambu runcing,air berisikn ikan yang masih hidup,ceraken
dibungkus dengan kain lalu cabang kayu dadap yang terikat dengan kayu dadap
ditancapkan pada pintu gerbang.Ceraken yang berisi air dan ikan dijinjing oleh
sang ibu,sang suami memegang dengan tangan kiri,sedangkan tangan kanan suami
memegang bamboo,air suci dipercikan pada sesajian yang telah
disediakan,.setelah itu suami istri bersembahyang memohon keselamatan agar bayi
yang di dalam kandungan selamat sampai
lahirnya nanti tanpa hambatan,upacara ini disertakan pula mantra-mantra
sepertidi Bali digunakan mantra MatrpujaNadisraddhadan dan Prapajapalopuja yang
samata-mata dilakukan untuk keselamatan ibu.
b. Kelahiran bayi
Upacara Jatakarma yaitu upacara
kelahiran bayi yang dilaksanakan ketika
sebelum tali pusar bayi itu terputus,jika tali pusar si bayi sudah
terlanjur lepas,harus dibuatkannya suatu upakara yang bertujuan untuk
membersihkan secara spiritual tempat-tempat suci dan bangunan-bangunan yang ada
disekitarnya.
c. Upacara
setelah kelahiran bayi
Upacara Bajong Colong atau
Ngerorasin adalah upacara pergantian nama terhadap Catur Sanak, dan
mempersiapkan nama baru untuk sang anak
yang dilaksanakan ketika bayi berumur
12 hari.Tujuan dari upacara ini adalah untuk keselamatan bayi karena
terpisah dangan catur sanak dan memperkuat kedudukan Atman atau roh sang bayi
dengan sekaligus membersihkan badan halus bayi itu dari kotoran yang dibawa dari rahim ibu.Umat Hindu
Indonesia khususnya di Bali,pada saat upacara ini berlangsung dilakukan pula
pemberian nama.Di India,pemberian nama disebut Namakarana.
Upacaran ini adalah upacara
pembersihan orangtua dan bayinya terhadap lingkungan luarnya.upacara ini
dilakukan ketika bayi beurmur 42 hari.Karena sebelum bayi berumur 42 hari,orang
tua terutama ibu dianggap kotor sehinnga belum diperkenankan masuk ke tempat
yang suci.
B.
Perkawinan dalam agama Hindu
Di dalam masyarakat
Hindu,khususnya di Bali, terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk
perkawinan yang merupakan bentuk pejabaran dari bentuk perkawinan yang
diungkapkandalam Pustaka Manawa
Dharmasastra, diantaranya: mempadik, ngerorod, nyentana, melegandang.
Mempadik (meminang), bentuk ini
adalah bentuk yan dianggap sebagai paling terhormat .Yang melakukan pinangan
ini adalah berasal dari pihak laki-laki (purusa),yang datang memenuhi pihak
perempuan(pradhana) dan telah mendapatkan persetujua dari kedua pihak.
C.
Upacara Kematian
·
Ngaben
Ngaben selalu berkonotasi
pemborosan, karena tanpa biaya besar kerap tak bias ngaben. Dari sini muncul
pendapat yang sudah tentu tidak benar- yaitu : berasal dari kata ngabehin, yang
artinya berlebihan. Jadi tanpa mempunyai dan berlebihan orang tidak akan ngaben.
Anggapan keliru ini kemudian mentradisi
dan akibatnya para leluhurnya bertahun-tahun dikubur. Hal ini sangat
bertentangan dengan konsep dasar dari upacara ngaben itu.
Dari beberapa penelusuran lontar
di Bali, ngaben ternyata tidak selalu besar. Ada beberapa jenis ngaben yang
justru sangat sederhana antara lain; MitraYadnya, Pranawa, Swasta. Namun
terdapat pula berbagai jenis upacara ngaben yang tergolong besar seperti Sawa Prateka dan Sawa Wedhana.
A.
Pengertian
Pengertian dasar ngaben secara
umum didefinisikan sebagai upacara pembakaran mayat, kendatipun dari asala-usul
etimologi itu kurang tepat. Sebab ada tradisi ngaben yang tidak melalui
pembakaran mayat. Ngaben sesungguhnya berasal dari kata beya artinya bekal atau
biaya. Ngaben atau meyanin dalam istilah baku lainnya yang disebut dalam lontar
adalah atiwa-tiwa, tetapi inipun belum dapat dicari asal-usulnya. Kemungkinan
berasal dari bahasa asli Nusantara (Austronesia), mengingat upacara jenis ini
juga kita jumpai pada suku dayak di Kalimantan, yang disebut tiwah. Sedangkan
pada suku dayak itu disebut “tibal” dan untuk umat hindu di pegunungan Tengger
itu dikenal dengan nama entas-entas.mkata entas mengingtkan pada upacara pokok
dibali yaitu tirtha pangentas yang berfungsi untuk memutuskan kecintaan sang
Atma denga badan jasmaninya dan mengantarkan Atma ke alam Pitara.
Dalam bahasa lain yang juga
berkonotasi halus, ngaben disebut juga sebagai palebon yag berasal dari kata
prathiwi atau tanah, yang menjadikan arti sebagai “menjadikan pratiwi (abu)”. Tempat
untau memproses menjadi tanah disebut pemasmian (basmi) dan arealnya disebut
sebagai tunon (membakar), kata lain adalah setra (tegal) dan sema “smasana”
(durga), dewi durga yang bersthana di tunon ini.
Ngaben adalah upacara
penyempurnaan jasad, mengembalikan unsur-unsur yang membentuk tubuh manusia ke
asalnya yang dalam agama hindu tubuh manusia itu dibentuk sama dengan alam yang
dikenal dengan istilah bhuwana agung (unsure-unsur jagat raya) dan bhuwana alit
(unsure-unsur didalam tubuh) yang dalam agama hindu disebut panca maha bhuta
yakni ; pertiwi, apah, teja, bayu, dan akasa. Seseorang yang meninggal dunia,
tubuhnya ditinggal pergi oleh roh (sang Atma), maka tubuh itu tak ubahnya
segabai benda rongsokan ibarat sampah, ia harus segera dihanguskan supaya baur
dengan alam semesta. Bahkan dikatakan unsur dalam badan itu bukan saja persis
dengan alam, tetapi meminjam unsur alam yang harus dikembalikan jika sang Atma
meninggalkan badan kasar. Pengembalian pinjaman itu semakin cepa semakin baik,
agar sang Atma yang gentayangan lancar menemukan tempat istirahatnya terakhir
di surga atau mungkin di neraka. Jika mayat hanya dikuburkan ditanah, proses
penghancuran untuk menyatu dengan tanah berlangsung sangat lama, sementara sang
Atma tetap saja berutang dan tentu waswas ketempatnya istirahat. Itulah
sebabnya ada ngaben yang dilakukan oleh ahli warisnya. Ngaben juga bukan hanya
demi sang roh, tetapi ritus inipun menjadi swadharma sang ahli waris
(pretisentana), kewajiban membayar utang. Dalam ajaran hindu bahwa setiap orang
berutang kepada orang tua yang melahirkannya. Yaitu utang kama bang ( hormon
laki-laki) dan kama putih (hormon perempuan) yang menyebabkan terjadinya
kelahiran, dengan ngaben utang pada dua kama itu menjadi lunas. Sebelum
melunasi utang (melaksanakan Pitra Yadnya), pretisantana belum berhak menerima
warisan.
Ada tiga cara yang ditempuh umat dalam melaksanakan ngaben
yaitu nista, madya dan utama. Tingkatan inilah yang kemudian mempengaruhi
jalannya upacara,yang membuat besar kecilnya sesajen yang pada akhirnya
menyangkut waktu yang disita, orang yang dilibatkan, dan biaya yang
dikeluarkan. Tingkatan ngaben ini tidak ada hubungannya dengan kasta tetapi
ditentukan oleh keadaan social ekonomi keluarga yang mempunyai hajat.
Ngaben merupakan salah satu dari lima pengorbanan suci, apa
yang disebut pancaYadnya. Ia tergolong Pitra Yadnya artinya berkorban untuk
para leluhur. Seperti halnya setiapYadnya (pengorbana suci), seseorang
diwajibkan upacaranya sebatas kemampuan dan seberapa jauh sudah menjadi beban.
Untunglah tak ada agama yang sengaja menurunkan aturan yang
membuat hidup menjadi susah. Ada petunjuk ngaben secara hemat yang dimuat dalam
lontar Yama purwana tatwa dalam seberapa sajen yang perlu dibuat sampai
memenuhi kebutuhan minimum, sehingga tidak memakan biaya besar.
·
Ngaben sarat relevansinya masa kini
Ngaben yang sarat diselenggarakan dengan semarak, yang penuh
sarat dan perlengkapan upacara upakara dan memerlukan dukungan dana dan waktu
yang cukup untuk mempersiapkan segala sesuatunya dan penggarap yang besar
tentunya. Untuk tercapai tujuannya pretisantana berusaha menggunakan sarana
bebantenan dan upacara lainnya dengan semaksimal mungkin untuk pula membuktikan
ketulusan bhaktinya dengan mempersembahkan suatu yang megah dan agung dan
disamping itu factor pristise dan harga diri juga harus menjadi pertaruhan bagi
sang pretisantana sebagai wujud bhaktinya.
·
Kondisi umat hindu
Masa lalu
Sebelum masa kemerdekaan, umat
hindu kondisinya sangat lemah sebagai masyarakat agraris mereka juga
berpenghasilan rendah, pemehaman terhadap agama hindu sangatlah rendah dan
masih tabu tuk dipelajari. Motto away wera di salah artikan menjadi identik
dengan dana yang sangat besar dan tak mengenal ada bentuk ngaben yang
sederhana. Maka mereka harang sekali ngaben kalaupun ada hanyalah kaum Mekel,
keluarga puri, atau golongan Geria. Sewaktu-waktu mereka ikut dan berinisiatif
tuk secara kolektif (ngagalung) yang disponsori oleh banjar (suatu lembaga
adat).
Masa sekarang
Telah merasuknya masa transisi pada industrialism, maka
sangatlah mudah kita temukan umat hindu yang ngaben secara sederhana maupun
sarat. Kendatipun masyarakat mengalami pergeseran tata nilai, namun akibat
bertambahnya pendapatan umat dan tambah pemahaman yang semakin meluas, maka
pengabenanpun rutin terlaksana.
Masa datang
Masa era industrialisasi
khususnya dalam bidang pariwisata. Maka pertambahan pendapatan dan pemahaman
dalam ajaran umat hindu semakin meningkat, dan pada akihrnya umat tidak segan
lagi tuk melakukan upacara yajna untuk jenis apapun dan sesuai dengan sesuai
dengan kemampuan masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar