Rabu, 22 November 2017

Responding Paper Kelompok 11

Upacara kelahiran, Perkawinan dan  kematian dalam agama Hindu

A.      Upacara kelahiran  
·         Upacara bayi dalam kandungan
Dalam agama hindu,ritual atau upacara yang dilakukan ketika bayi masih dalam kandungan disebut Magedog-gendongan.Upacara ini dilakukuan setelah kandungan berusia di bawah lima bulan.Upacara ini bertujuan untuk membersihkan dan memohon keselamatan jiwa si bayi agar kelak menjadi orang yang berguna untuk dalam masyarakat nanti.
a.       Tata cara upacara magedog-gendongan:
Dilakukan di dalam pemandian di dalam rumah,ibu yang sedang mengandung disucikan,di tempat suci itu disertakan pula alat upacara berupa benang hitam satu ikat yang kedua ujungnya diikatkan pada cabang kayu dadap,bambu runcing,air berisikn ikan yang masih hidup,ceraken dibungkus dengan kain lalu cabang kayu dadap yang terikat dengan kayu dadap ditancapkan pada pintu gerbang.Ceraken yang berisi air dan ikan dijinjing oleh sang ibu,sang suami memegang dengan tangan kiri,sedangkan tangan kanan suami memegang bamboo,air suci dipercikan pada sesajian yang telah disediakan,.setelah itu suami istri bersembahyang memohon keselamatan agar bayi yang di dalam kandungan  selamat sampai lahirnya nanti tanpa hambatan,upacara ini disertakan pula mantra-mantra sepertidi Bali digunakan mantra MatrpujaNadisraddhadan dan Prapajapalopuja yang samata-mata dilakukan untuk keselamatan ibu.
b.      Kelahiran bayi
Upacara Jatakarma yaitu upacara kelahiran bayi yang dilaksanakan ketika  sebelum tali pusar bayi itu terputus,jika tali pusar si bayi sudah terlanjur lepas,harus dibuatkannya suatu upakara yang bertujuan untuk membersihkan secara spiritual tempat-tempat suci dan bangunan-bangunan yang ada disekitarnya.
c.       Upacara setelah kelahiran bayi 
Upacara Bajong Colong atau Ngerorasin adalah upacara pergantian nama terhadap Catur Sanak, dan mempersiapkan nama baru untuk sang anak  yang dilaksanakan ketika bayi berumur  12 hari.Tujuan dari upacara ini adalah untuk keselamatan bayi karena terpisah dangan catur sanak dan memperkuat kedudukan Atman atau roh sang bayi dengan sekaligus membersihkan badan halus bayi itu dari kotoran  yang dibawa dari rahim ibu.Umat Hindu Indonesia khususnya di Bali,pada saat upacara ini berlangsung dilakukan pula pemberian nama.Di India,pemberian nama disebut Namakarana.
Upacaran ini adalah upacara pembersihan orangtua dan bayinya terhadap lingkungan luarnya.upacara ini dilakukan ketika bayi beurmur 42 hari.Karena sebelum bayi berumur 42 hari,orang tua terutama ibu dianggap kotor sehinnga belum diperkenankan masuk ke tempat yang suci.
B.      Perkawinan dalam agama Hindu
Di dalam masyarakat Hindu,khususnya di Bali, terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk perkawinan yang merupakan bentuk pejabaran dari bentuk perkawinan yang diungkapkandalam Pustaka Manawa  Dharmasastra, diantaranya: mempadik, ngerorod, nyentana, melegandang.
Mempadik (meminang), bentuk ini adalah bentuk yan dianggap sebagai paling terhormat .Yang melakukan pinangan ini adalah berasal dari pihak laki-laki (purusa),yang datang memenuhi pihak perempuan(pradhana) dan telah mendapatkan persetujua dari kedua pihak.
C.      Upacara Kematian
·         Ngaben
Ngaben selalu berkonotasi pemborosan, karena tanpa biaya besar kerap tak bias ngaben. Dari sini muncul pendapat yang sudah tentu tidak benar- yaitu : berasal dari kata ngabehin, yang artinya berlebihan. Jadi tanpa mempunyai dan berlebihan orang tidak akan ngaben. Anggapan keliru ini kemudian mentradisi  dan akibatnya para leluhurnya bertahun-tahun dikubur. Hal ini sangat bertentangan dengan konsep dasar dari upacara ngaben itu.
Dari beberapa penelusuran lontar di Bali, ngaben ternyata tidak selalu besar. Ada beberapa jenis ngaben yang justru sangat sederhana antara lain; MitraYadnya, Pranawa, Swasta. Namun terdapat pula berbagai jenis upacara ngaben yang tergolong  besar seperti Sawa Prateka dan Sawa Wedhana.
A.      Pengertian
Pengertian dasar ngaben secara umum didefinisikan sebagai upacara pembakaran mayat, kendatipun dari asala-usul etimologi itu kurang tepat. Sebab ada tradisi ngaben yang tidak melalui pembakaran mayat. Ngaben sesungguhnya berasal dari kata beya artinya bekal atau biaya. Ngaben atau meyanin dalam istilah baku lainnya yang disebut dalam lontar adalah atiwa-tiwa, tetapi inipun belum dapat dicari asal-usulnya. Kemungkinan berasal dari bahasa asli Nusantara (Austronesia), mengingat upacara jenis ini juga kita jumpai pada suku dayak di Kalimantan, yang disebut tiwah. Sedangkan pada suku dayak itu disebut “tibal” dan untuk umat hindu di pegunungan Tengger itu dikenal dengan nama entas-entas.mkata entas mengingtkan pada upacara pokok dibali yaitu tirtha pangentas yang berfungsi untuk memutuskan kecintaan sang Atma denga badan jasmaninya dan mengantarkan Atma ke alam Pitara.
Dalam bahasa lain yang juga berkonotasi halus, ngaben disebut juga sebagai palebon yag berasal dari kata prathiwi atau tanah, yang menjadikan arti sebagai “menjadikan pratiwi (abu)”. Tempat untau memproses menjadi tanah disebut pemasmian (basmi) dan arealnya disebut sebagai tunon (membakar), kata lain adalah setra (tegal) dan sema “smasana” (durga), dewi durga yang bersthana di tunon ini.
Ngaben adalah upacara penyempurnaan jasad, mengembalikan unsur-unsur yang membentuk tubuh manusia ke asalnya yang dalam agama hindu tubuh manusia itu dibentuk sama dengan alam yang dikenal dengan istilah bhuwana agung (unsure-unsur jagat raya) dan bhuwana alit (unsure-unsur didalam tubuh) yang dalam agama hindu disebut panca maha bhuta yakni ; pertiwi, apah, teja, bayu, dan akasa. Seseorang yang meninggal dunia, tubuhnya ditinggal pergi oleh roh (sang Atma), maka tubuh itu tak ubahnya segabai benda rongsokan ibarat sampah, ia harus segera dihanguskan supaya baur dengan alam semesta. Bahkan dikatakan unsur dalam badan itu bukan saja persis dengan alam, tetapi meminjam unsur alam yang harus dikembalikan jika sang Atma meninggalkan badan kasar. Pengembalian pinjaman itu semakin cepa semakin baik, agar sang Atma yang gentayangan lancar menemukan tempat istirahatnya terakhir di surga atau mungkin di neraka. Jika mayat hanya dikuburkan ditanah, proses penghancuran untuk menyatu dengan tanah berlangsung sangat lama, sementara sang Atma tetap saja berutang dan tentu waswas ketempatnya istirahat. Itulah sebabnya ada ngaben yang dilakukan oleh ahli warisnya. Ngaben juga bukan hanya demi sang roh, tetapi ritus inipun menjadi swadharma sang ahli waris (pretisentana), kewajiban membayar utang. Dalam ajaran hindu bahwa setiap orang berutang kepada orang tua yang melahirkannya. Yaitu utang kama bang ( hormon laki-laki) dan kama putih (hormon perempuan) yang menyebabkan terjadinya kelahiran, dengan ngaben utang pada dua kama itu menjadi lunas. Sebelum melunasi utang (melaksanakan Pitra Yadnya), pretisantana belum berhak menerima warisan.
Ada tiga cara yang ditempuh umat dalam melaksanakan ngaben yaitu nista, madya dan utama. Tingkatan inilah yang kemudian mempengaruhi jalannya upacara,yang membuat besar kecilnya sesajen yang pada akhirnya menyangkut waktu yang disita, orang yang dilibatkan, dan biaya yang dikeluarkan. Tingkatan ngaben ini tidak ada hubungannya dengan kasta tetapi ditentukan oleh keadaan social ekonomi keluarga yang mempunyai hajat.
Ngaben merupakan salah satu dari lima pengorbanan suci, apa yang disebut pancaYadnya. Ia tergolong Pitra Yadnya artinya berkorban untuk para leluhur. Seperti halnya setiapYadnya (pengorbana suci), seseorang diwajibkan upacaranya sebatas kemampuan dan seberapa jauh sudah menjadi beban.
Untunglah tak ada agama yang sengaja menurunkan aturan yang membuat hidup menjadi susah. Ada petunjuk ngaben secara hemat yang dimuat dalam lontar Yama purwana tatwa dalam seberapa sajen yang perlu dibuat sampai memenuhi kebutuhan minimum, sehingga tidak memakan biaya besar.
·         Ngaben sarat relevansinya masa kini
Ngaben yang sarat diselenggarakan dengan semarak, yang penuh sarat dan perlengkapan upacara upakara dan memerlukan dukungan dana dan waktu yang cukup untuk mempersiapkan segala sesuatunya dan penggarap yang besar tentunya. Untuk tercapai tujuannya pretisantana berusaha menggunakan sarana bebantenan dan upacara lainnya dengan semaksimal mungkin untuk pula membuktikan ketulusan bhaktinya dengan mempersembahkan suatu yang megah dan agung dan disamping itu factor pristise dan harga diri juga harus menjadi pertaruhan bagi sang pretisantana sebagai wujud bhaktinya.
·         Kondisi umat hindu
Masa lalu
Sebelum masa kemerdekaan, umat hindu kondisinya sangat lemah sebagai masyarakat agraris mereka juga berpenghasilan rendah, pemehaman terhadap agama hindu sangatlah rendah dan masih tabu tuk dipelajari. Motto away wera di salah artikan menjadi identik dengan dana yang sangat besar dan tak mengenal ada bentuk ngaben yang sederhana. Maka mereka harang sekali ngaben kalaupun ada hanyalah kaum Mekel, keluarga puri, atau golongan Geria. Sewaktu-waktu mereka ikut dan berinisiatif tuk secara kolektif (ngagalung) yang disponsori oleh banjar (suatu lembaga adat).
Masa sekarang
Telah merasuknya  masa transisi pada industrialism, maka sangatlah mudah kita temukan umat hindu yang ngaben secara sederhana maupun sarat. Kendatipun masyarakat mengalami pergeseran tata nilai, namun akibat bertambahnya pendapatan umat dan tambah pemahaman yang semakin meluas, maka pengabenanpun rutin terlaksana.
Masa datang
Masa era industrialisasi khususnya dalam bidang pariwisata. Maka pertambahan pendapatan dan pemahaman dalam ajaran umat hindu semakin meningkat, dan pada akihrnya umat tidak segan lagi tuk melakukan upacara yajna untuk jenis apapun dan sesuai dengan sesuai dengan kemampuan masing-masing.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar